“Dalam seminggu terakhir ini berapa kali ibu memberi Tiara sayur? Buah-buahan apa yang biasa dimakan Tiara ? Bisa dirinci apa saja aktivitasnya dari bangun tidur sampai tidur lagi? Apakah dalam sebulan terakhir ia menderita sakit?”
Pertanyaan tersebut merupakan bagian dari survei yang diajukan Risda, salah satu tim peneliti dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) kepada salah satu respondennya, Husnul (23) ibu dari Tiara (4), warga desa Sultan Muhammad, Jungkat, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat.
Dusun Sultan Muhammad bisa ditempuh sekitar satu jam berkendara dari kota Pontianak, Kalimantan Barat. Pada umumnya rumah-rumah di dusun ini terbuat dari kayu dengan sanitasi yang buruk. “Untuk masak dan minum kami mengandalkan air hujan, sedang untuk mandi kami biasa mandi di parit depan rumah,” kata Husnul. Tiara, bocah yang sudah mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) itu merupakan bagian dari 7.200 anak Indonesia yang menjadi responden dalam survei South East Asia Nutrition Survei (SEANUTS) yang digagas PERSAGI dan Frisian Flag Nutrition Institute.
Survei yang dilakukan di empat negara, yakni Vietnam, Malaysia, Thailand dan Indonesia itu bertujuan untuk mengetahui status gizi dan pola makan anak-anak di wilayah Asia Tenggara. Di Indonesia, survei ini dilakukan terhadap anak-anak berusia 6 bulan sampai 12 tahun di 48 kabupaten kota di 25 provinsi di Indonesia. Selain mengajukan sederet pertanyaan seputar pola konsumsi dan aktivitas Tiara, Risda juga melakukan berbagai pengukuran fisik seperti tinggi badan, berat badan, hingga pengukuran lapisan lemak dan kematangan tulang.
Lulusan dari Akademi Gizi Bogor itu selama 5 hari di Kecamatan Jungkat juga melakukan tes psikologi untuk mengetahui tingkat kognitif anak, serta mengambil sampel darah untuk mengetahui ada tidaknya kekurangan mikronutrien yang diderita. Menurut DR.Sandjaja, ketua penelitian dan pengembangan PERSAGI, studi SEANUTS ini menerapkan pola population based, sehingga tim peneliti mengunjungi tiap rumah responden satu persatu.
“Responden kami adalah anak usia 6 bulan sampai 12 tahun dengan total 7.200 responden. Pengambilan sampel secara random untuk semua golongan ekonomi sehingga bisa mereprenstasikan Indonesia,” katanya. Ia menjelaskan, SEANUTS merupakan studi gizi paling komperhensif yang pernah dibuat di Indonesia. “Nantinya bukan cuma status gizi kurang saja yang diketahui tapi juga status mikronutrien anak, misalnya kurang vitamin atau zat gizi lainnya,” katanya.
Menurutnya saat ini bangsa Indonesia masih menghadapi banyak masalah dalam gizi masyarakat, antara lain kurang gizi, kekurangan yodium, anemia gizi (kekurangan zat besi), serta kekurangan vitamin A, yang semuanya masih menunjukkan angka prevalensi cukup tinggi. “Status gizi kurang pada anak tidak banyak berubah, dari 19 persen di tahun 2007 turun menjadi 18 persen di tahun 2010,” bebernya. Padahal, imbuhnya, anak yang menderita gizi buruk mempunyai IQ 11-13 poin lebih rendah dibandingkan dengan anak normal. Akibatnya mereka akan mengalami keterlambatan kecerdasan. “Nilai IQ tersebut sudah tidak bisa diperbaiki lagi karena masa tumbuh kembang otak anak yang utama adalah usia 0-2 tahun,” ujarnya.
Gizi kurang merupakan salah satu dari berbagai persoalan gizi yang mendesak harus diatasi. Karena negara yang mengabaikan gizi rakyatnya akan memikul akibat berupa rendahnya kualitas otak anak bangsa.