Keangkuhan Orang Tua Sebagai Beban Mental Anak


Beban Mental AnakMenetapkan standar yang patut dijadikan acuan dalam perkembangan sang anak bukanlah sesuatu yang buruk. Dengan adanya sebuah standar, semua orang merasa terus terpacu untuk menjadi lebih baik dan mempertahankan performa dengan maksimal. Di dalam kehidupan berkeluarga, orang tua pun sering menetapkan standar-standar tertentu sesuai dengan keinginan pribadi atau kemampuan sang anak.

Mungkin ada di antara kita yang tidak memiliki standar apa pun. Ada pula pendapat bahwa jika anak merasa bahagia, itu sudah cukup. Namun ternyata dalam kehidupan yang penuh persaingan ini, standar yang tinggi sangat diperlukan untuk menunjang kesuksesan sang anak. Seperti layaknya sebuah perusahaan, kita harus memiliki visi dan misi yang jelas dalam membimbing dan mengasuh anak-anak. Dengan adanya sebuah standar dan tujuan yang harus diraih, sang anak akan merasa lebih termotivasi untuk mengejar pencapaian yang lebih tinggi. Namun, seperti halnya dengan tindakan besar lainnya, standar yang tinggi memiliki konsekuensi dan risiko yang patut diperhitungkan.


Memiliki sebuah standar yang tinggi bila dibandingkan dengan orang lain artinya sebuah tanggung jawab yang lebih besar. Jika kita berbicara tentang keberhasilan, kebanggaan yang didapat akan sangat membahagiakan meskipun berpotensi mengakibatkan kesombongan karena merasa berbeda ‘derajat’ dengan teman-teman yang lain. Namun, ketika kita berbicara tentang sebuah keberhasilan yang tertunda, standar yang tinggi akan berujung pada kekecewaan terhadap diri sendiri serta perasaan malu dan takut diperlakukan buruk oleh pihak luar, dilecehkan misalnya.

Pada kenyataannya, standar yang tinggi biasanya ditetapkan oleh orang tua dengan tujuan untuk memotivasi anak. Kenyataan ini pula yang menambah beban mental sang anak ketika standar yang tinggi tersebut tidak berhasil mereka capai. Jika mereka belum pernah melalui standar itu sebelumnya, mereka akan merasa kecil hati dan kurang percaya diri. Tidak jarang perasaan tertekan akan muncul karena beranggapan bahwa orang tua sedikit memaksakan kehendak masing-masing. Jika mereka pernah melalui standar itu sebelumnya, mereka akan tetap merasa khawatir atas perlakuan yang akan mereka terima, khususnya dari orang tua.

 

Memang ada baiknya pula mendidik anak dengan disiplin karena dapat melatih mental sang anak, namun dalam keadaan tertentu, akibatnya akan jauh dari apa yang diharapkan. Sebagai orang tua, hendaknya kita selalu menyadari bahwa performa dan keadaan anak dapat naik dan turun, sama seperti pergerakan saham.

Mari kita mencoba untuk melakukan refleksi sejenak. Andai kata kita biasanya dapat mencapai target yang sudah ditetapkan dan suatu kali kita tidak dapat mencapainya, tidak hanya merasa terpukul, kita bahkan dapat merasa sakit hati ketika ada pihak lain yang terkesan ‘menyudutkan’ posisi kita dengan membandingkan keberhasilan yang tertunda ini dengan keberhasilan sebelumnya, atau bahkan keberhasilan orang lain! Belum lagi jika pihak tersebut adalah pihak yang biasanya selalu membangga-banggakan kita di hadapan orang lain. Apa yang sekiranya akan kita rasakan?

Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anak mereka, juga pasti ada banyak rasa bangga karena dikaruniai anak-anak yang begitu rajin dan bertalenta. Bukankah lebih baik kita bersyukur dan menyatakan kebanggaan tersebut langsung kepada sang anak daripada membangga-banggakan dirinya di hadapan orang lain demi kepentingan pribadi?

JANGAN LEWATKAN